JAKARTA,PGI.OR.ID-Jenderal TB Simatupang adalah sosok Pahlawan Nasional yang telah memberikan sumbangsih luar biasa, tidak hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi juga gereja, bahkan dunia. Pada 1 Januari 1990, Pak Sim, panggilan akrab TB Simatupang, menghadap sang Pencipta.
Dalam otobiografinya, yang ditulis empat tahun sebelum meninggal, Pak Sim menulis: “Segala sesuatu adalah milik kita, tetapi pada akhirnya semua yang kita miliki adalah milik Allah. Sehingga dalam cara kita memiliki segala sesuatu itu, kita membayar utang kita dengan melayani sesama kita dan dengan itu kita memuliakan nama Tuhan.”
Mengenang kembali Pak Sim, para sahabat, kolega, keluarga, serta sejumlah tokoh Kristen berkumpul bersama mengikuti Ibadah Syukur 100 Tahun TB Simatupang (28 Januari 1920-2020), di Grha Oikoumene, Jakarta, Selasa (28/1), yang dipimpin oleh Majelis GKI Kwitang. Pada kesempatan itu, sejumlah tokoh turut menyampaikan testimoni.
Membuka acara ini, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty menyampaikan rasa syukur karena dapat merayakan 100 Tahun TB Simatupang. “Dia adalah prajurit, intelektual, yang gagasannya memberi sumbangsih tidak hanya bagi TNI, tetapi juga gereja. Tak heran jejaknya bagi bangsa ini telah tercatat, ada dalam memori kolektif kita, maupun pribadi yang pernah terlibat bersamanya. Bagi PGI, TB Simatupang adalah tokoh oikoumenis, kita merasakan kontribusinya bagi PGI melalui salah satu putra terbaik bangsa ini,” ujarnya.
Dalam testimoninya, Pdt. Dr. SAE. Nababan menegaskan, Pak Sim sebagai pemberian Tuhan sebagai manusia yang sangat cerdas bagi bangsa Indonesia dan gereja. Selain kecerdasan, dia juga sosok yang dibungkus oleh dua hal, kerendahan hati dan kesederhanaan.
“Salah satu contoh kesederhanaannya, waktu kami mau beli sepatu di luar negeri, saya usulkan untuk beli sepatu yang lebih bagus, tapi dia bilang tidak, kita harus cari sepatu yang bisa dipakai 20 sampai 30 tahun, dan dapat dipakai waktu olah raga, juga ke Istana. Jadi kalau kita punya Presiden Joko Widodo yang sederhana tetapi ada yang lebih sederhana lagi,” kata SAE Nababan disambut tepuk tangan dan tawa dari mereka yang hadir.
Lanjut mantan Presiden WCC ini, salah satu sumbangsih Pak Sim kepada gereja-gereja adalah kesadaran mengatasi pengaruh pietisme. Sebab sampai akhir 60an pemikiran kita masih dikuasai oleh pietisme, yang terpenting adalah kerohanian, orientasi ke sorga, dan sebagainya. Sementara yang lain tidak penting. Namun TB Simatupang berhasil memberikan contoh pemikiran bahwa perjuangan keadilan, perjuangan kemerdekaan, dan perjuangan mewujudkan kemakmuran adalah bagian dari Injil. “Itu sebabnya Sidang Raya tahun 1961 berhasil merumuskan Injil secara utuh yang juga menekankan pentingnya perjuangan di tengah masyarakat. Dan ini membawa perubahan yang luar biasa di dalam gereja,” tandasnya.
Sumbangsih lain bagi gereja yaitu membantu gereja-gereja di Asia untuk tidak terlalu memikirkan bahwa jumlah mereka kecil. Pak Sim selalu mengatakan jumlah itu tidak menentukan, melainkan kecemerlangan, bahwa kita dibutuhkan.
“TB Simatupang juga menggugah para pendeta, para teolog di Indonesia ini untuk bangkit memperluas wawasan, dan kerjasama lintas agama. Sedangkan pada tingkat dunia, dia menekankan bahwa semua bangsa adalah sama. Perkataan orang Eropa lebih maju dari bangsa-bangsa lain dianggapnya hanya mitos. Dan dia buktikan dengan menjadi orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi Presiden WCC. Ini adalah bentuk persamaan seluruh bangsa. TB Simatupang telah mengangkat kehadiran gereja-gereja di Indonesia di seluruh dunia, yang kalau sebelumnya dianggap enteng,” papar mantan Ketua Umum PGI ini.
Sumbangsih lain, meski terkesan kecil, namun menurut SAE Nababan sangat bermanfaat, yaitu tepat waktu, dan tidak boleh mendahului. “Sebab, pada tahun 50an-60an penyakit masyarakat kita, juga gereja, adalah jam karet. Pak Sim telah menerapkan contoh yang baik bagi hal ini. Dan sekarang ini PGI juga sudah rapat ontime, juga gereja-gereja. Tetapi ada satu hal lagi, tidak hanya tepat waktu, tetapi juga tidak bisa mendahului waktu,” tandasnya.
Diakhir testimoninya, SAE Nababan mengingatkan untuk terus mengembangkan, meneruskan, dan mau menghargai apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita melalui TB Simatupang.
Sementara itu, Prof. Emil Salim melihat, selain cerdas, Pak Sim juga sosok yang punya semangat juang tinggi, dan berintegritas. Dengan kecerdasannya, di usia muda karirnya melejit di militer.
“Ketika Jendral Sudirman meninggal, Presiden Soekarno menunjuk TB Simatupang sebagai penggantinya. Padahal tahun 50an usianya belum sampai 30 tahun, tetapi sudah memikul tanggungjawab yang tinggi. Juga memiliki semangat juang tinggi. Ketika terjadi pemberontakan dimana-mana, bersama sahabatnya Jenderal Nasution, mereka berhasil mengatasi hal ini dengan semangat juang yang tinggi, dan akhirnya berhasil menyelamatkan NKRI,” kisahnya.
Sedangkan integritas ditunjukkan oleh Pak Sim, dengan tidak tergoda untuk memanfaatkan kekuasaanya demi kepentingan pribadi. “Dalam perjalanan hidupnya, dia banyak menemui tokoh-tokoh besar, salah satunya Bung Karno, tetapi tetap memelihara integritas. Dominasi kekuasaan sipil hidup di dalam dirinya,” ujar Emil.
Di penghujung acara, perwakilan keluarga Pak Sim didaulat untuk menerima tiga buah buku, karangan Pak Sim, yang dilounching pada kesempatan itu. Ketiga buku tersebut yaitu Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (PPM Manajemen), Tugas Kristen dalam Revolusi (BPK Gunung Mulia), dan Laporan dari Banaran (PMK HKBP Jakarta).
Pewarta: Markus Saragih